Apakah hubunganmu akan bertahan: Para ahli dapat memprediksi dengan akurasi yang mencengangkan
Kamu tidak bisa merancang sebuah cinta, tapi kamu bisa menentukan besarnya cinta melalui sebuah rancangan yang spektakuler. Sebuah studi baru (dipimpin oleh Shrikanth Narayanan dan Panayiotis Georgiou, anggota fakultas dari Sekolah Teknik Viterbi Universitas California Selatan, Md Nasir, mahasiswa doktoral mereka, dan juga kolaborator Brian Baucom dari Universitas Utah) menemukan bahwa nada suara dari cara pasangan berbicara terhadap satu sama lain dapat menjadi prediktor kualitas hubungan mereka.
Md Nasir menyatakan dalam siaran pers, “Apa yang Anda katakan bukanlah satu-satunya hal yang penting. Hal yang sangat penting adalah bagaimana cara Anda mengatakannya.” Sementara kata-kata mungkin bisa menipu, namun nada suara jauh lebih sulit untuk disembunyikan. Para peneliti yang melakukan studi tersebut mengembangkan algoritma komputer yang mencatat 74,1 persen keberhasilan dalam memprediksi apakah pasangan masih akan bersama-sama setelah lima tahun. Algoritma ini mengkombinasikan perhitungan berbagai elemen akustik, termasuk pitch dan intensitas.
Para ahli tersebut kemudian menggunakan sampel dari ratusan rekaman percakapan dalam sesi terapi pernikahan. Lebih dari 100 pasangan dipelajari selama lebih dari dua tahun. Selama lima tahun ke depan, para peneliti secara berkala menindaklanjuti pasangan tersebut melalui survei dan kuesioner, dan menemukan bahwa pasangan yang menunjukkan pitch lebih tinggi, intensitas lebih besar, lebih banyak jitter, dan kualitas suara yang lebih keras saat berbicara dengan pasangannya lebih cenderung untuk berpisah.
Jadi, bagaimana nada suara dari pasanganmu memprediksi apakah hubunganmu akan bertahan setidaknya lima tahun? Meskipun tidak jelas apakah nada suara yang lebih keras mengarah ke hubungan yang lebih lemah, atau apakah nada suara keras merupakan sebuah indikator dari hubungan yang lemah, akan jadi taruhan yang cukup bagus untuk mempercayai kedua hipotesis tersebut. Untuk selanjutnya, pitch, intensitas, jitter, serta fitur akustik yang berbeda semua diperhitungkan untuk mengukur agitasi (kegelisahan) – dan agitasi itu sendiri dapat memberi gagasan yang baik tentang bagaimana kamu melihat pasanganmu. Tingkat agitasi yang lebih tinggi akan menunjukkan bahwa kamu melihat pasanganmu sebagai ancaman, atau telah mencokolkan persepsi negatif padanya. Tingkat agitasi yang lebih rendah menunjukkan bahwa kamu merasa nyaman dengan kehadiran pasanganmu.
Penemuan ini serupa dengan yang ditemukan oleh John Gottman dan Robert Levenson dalam eksperimen The Love Lab mereka pada tahun 1986. The Love Lab didirikan di Universitas Washington untuk mempelajari reaksi pasangan selama mereka berinteraksi satu sama lain. Ribuan pasangan diundang, dan aktivitas fisiologisnya diukur selama wawancara berlangsung. Mereka ditanya tentang hubungan mereka, dan selanjutnya diminta untuk berbicara tentang waktu indah yang telah mereka alami dan perselisihan serius yang belum terselesaikan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin tinggi aktivitas fisiologis dari pasangan di The Love Lab, semakin pendek hubungan mereka berlangsung. Pada dasarnya, pasangan yang memiliki tingkat aktivitas fisiologis lebih tinggi menunjukkan gejala respon “melawan atau lari”. Hal ini dipicu oleh mereka yang menjadi lebih tertekan dan gelisah saat berbicara dengan pasangannya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pasangan yang merasa tidak nyaman dengan kehadiran satu sama lain karena serangkaian respon negatif lebih cenderung memiliki hubungan yang gagal.
Sepenggal penelitian lain, diterbitkan dalam Ilmu Psikologi, jurnal dari Asosiasi Ilmu Psikologi, lebih lanjut menguak penemuan ini. Para peneliti menggunakan hubungan kata untuk mengungkapkan persepsi sadar bahwa pasangan memiliki satu sama lain. Peneliti studi ini Ronald D. Rogge menjelaskan bahwa tes ini berbeda dari orang-orang yang mengandalkan respon langsung dari pasangan tentang apa yang mereka rasakan, karena ini tidak “(mengasumsikan) bahwa mereka sadar betapa bahagianya mereka, (sebagaimana) hal itu bukanlah selalu masalahnya.” Ia juga menyatakan bahwa “banyak orang tidak ingin memberitahu Anda jika mereka mulai merasa kurang bahagia dalam hubungan mereka.”
Penelitian Universitas Rochester yang melibatkan lebih dari dua ratus sukarelawan, dengan masing-masing relawan memberikan nama pertama pasangan mereka dan dua kata yang relevan dengan pasangan mereka. Studi ini kemudian melibatkan dua tes: pertama membutuhkan relawan untuk merespon kata-kata baik dan kata-kata yang berkaitan dengan pasangan, dan kedua membutuhkan relawan untuk merespon kata-kata buruk dan kata-kata yang berkaitan dengan pasangan. Gabungan dari hasil tes tersebut ditemukan respon emosional individu pada kata-kata itu dan bagaimana mereka dengan mudah menemukan korelasi antara pasangan mereka dengan hal-hal baik dan hal-hal buruk. Mereka yang lebih mudah mengkorelasikan pasangannya dengan hal-hal buruk menunjukkan persepsi yang lebih negatif dari pasangan mereka, dan memiliki hubungan yang kurang berhasil.
Jadi itulah yang kamu miliki. Reaksi emosional dari dirimu menunjukkan bagaimana perasaan kamu sesungguhnya dalam kesadaranmu tentang pasangan. Nada suaramu seharusnya jadi indikator yang baik, jadi hati-hatilah, dan kamu mungkin menemukan sesuatu tentang hubunganmu yang tidak kamu ketahui sebelumnya. Selain itu, umumnya ide yang baik untuk berbicara dengan pasanganmu dengan nada yang lebih penuh kasih sayang dan lembut.